Anggota DPR RI dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah (kanan). (Foto: Dok. Jurnas.com)
Jakarta, Jurnas.com - RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak diawali oleh satu kenyataan atau realitas kondisi dan fakta yang dialami baik oleh ibu atau anak yang ada di Indonesia. Selain itu, RUU tersebut juga menjadi kebutuhan bagi Indonesia untuk bisa melahirkan SDM yang unggul atau generasi emas di tahun 2045 nanti.
Hal itu sebagaimana diutarakan Anggota DPR RI Luluk Nur Hamidah saat berbicara dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk “RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak dan Tantangan Generasi Unggul”, di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/6).
Hadir juga sebagai narasumber, pemerhati anak dan pendidikan yang juga Eks Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti.
"Dari berbagai temuan dan juga hasil kajian yang memang kita lakukan sebelum mengusulkan RUU ini, kita mengundang berbagai pakar lintas disiplin juga, termasuk juga dari unsur pemerintah, dari BKKBN, Komisi Perlindungan Anak. Kita juga bicara banyak dengan teman-teman Komnas Perempuan, kita juga bicara dengan asosiasi bidan dan keperawatan termasuk juga dengan pihak kampus dan lain-lain sebagai satu kelaziman ketika kita mengusulkan RUU ini," kata Luluk.
Dia menjelaskan, pihaknya juga membaca begitu banyak naskah-naskah akademik, seperti jurnal-jurnal yang terkait dengan situasi yang menghubungkan antara kesejahteraan ibu dan anak, kemudian produktivitas nasional dengan ekonomi dan bahkan yang terkait dengan sumber daya manusia yang unggul itu sendiri.
"Ternyata kita menemukan satu fakta ya yang memang agak mengejutkan. Misalnya ternyata perempuan ketika mengandung itu banyak yang memiliki situasi kesehatan termasuk kekurangan nutrisi dan gizi. Dan juga kesehatan yang belum cukup. Mereka juga mengalami situasi yang sebenarnya sangat membahayakan, ketika perempuan itu kondisinya sedang mengandung atau bahkan pada saat mereka harus melahirkan," ungkap Politikus PKB ini.
Ia mencontohkan, perempuan yang menderita anemia misalnya. Ketika masih remaja rata-rata anemia yang dialami itu sekitar 35 sampai 40 persen. Tapi begitu perempuan itu mengandung, maka gejala anemia dan kondisi anemia parah mencapai di atas 60 persen. Kondisi ini sangat rentan ketika perempuan harus melahirkan.
"Jadi kalau kemudian kondisinya anemia ya pasti akan berbahaya. Makanya enggak jarang ada peristiwa-peristiwa kematian bagi ibu itu karena dia kehabisan darah pada saat melahirkan," ungkapnya.
Luluk memaparkan, hal ini juga terbukti dari angka kematian ibu dan anak yang masih sangat tinggi di Indonesia. Kalau dilihat rata-rata dari 100.000 kelahiran hidup maka masih di atas 300 perempuan atau Ibu yang kemudian meninggal dunia.
Begitu juga dengan kematian anak-anak yang meninggal pasca kelahiran juga masih sangat tinggi. Dikatakannya, Indonesia menjadi negara yang tingkat kematian ibu dan anak bahkan yang salah satu tertinggi di Asia Tenggara.
"Indonesia anggota G-20, kita bahkan pernah memimpin presidensi G-20 kemarin. Tetapi untuk ukuran kesejahteraan ibu dan anak yang meliputi faktor yang fisik, non fisik, emosional, spiritual kemudian juga psikis, bahkan kemudian yang terkait dengan nyawa, ternyata kita relatif masih rendah. Dan ini menjadi PR kita bersama," pungkasnya.
KEYWORD :
Warta DPR Luluk Nur Hamidah PKB RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak